Peranan Gandang Tambue dalam Upacara Tabuik di Pariaman
Peranan ialah fungsi dan kedudukan, disini fungsi tidak saja sebagai pemenuhan kebutuhan namun juga sebagai media timbulnya gejala-gejala tertentu. yang akan di bahas merupakan ensambel Gandang Tambue, tidak Gandang Tambue yang dipandang sebagai benda mati namun Gandang Tambue yang bisa menghidupkan suatu proses ritual. Menurut saya ritual Oyak Tabuik tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya Gandang Tambue, hampir disetiap prosesi Oyak Tabuik hampir tidak dapat dipisahkan dari Gandang Tambue.
Oyak Tabuik merupakan ritual yang bernuansakan Islam, ritual ini di mulai dari tanggal 1 sampai 10 muharram untuk memperingati kematian Husein Bin Ali cucu nabi Muhammad saat perang Karbela di Irak. Tambue merupakan nama ensambel gendang yang terdiri dari 1 pemain Tasa dan 7 atau lebih pemain Gandang Tambue. Sementara Tabuik merupakan kerenda bertingkat 3 terbuat dari kayu, rotan dan bambu dengan tinggi mencapai 15 meter dan berat sekitar 500 kilogram, dan pada acara akhir dari ritual ini ialah mengarak Tabuik ke pantai dengan dipikul bersama-sama sambil menghoyak-hoyak Tabuik yang diarak ke pantai di kota Pariaman.
Pariaman memiliki luas wilayah 1.328,79 km2. Posisinya 0°11’ - 0°49’ LS dan 98°36’-100°28’ BT. Batas-batas daerah pariaman antara lain sebelah Utara, Kab Agam dan Kec V koto kampung dalam. Selatan, Kota Padang . Timur, Kab Solok dan Kab Tanah Datar. Barat, Samudra Indonesia . Pada awalnya kab Pariaman sesuai dengan peraturan komisaris pemerintah di Sumatra no 81/Kom/U/1948 tentang pembagian Kabupaten di Sumatra Tengah yang terdiri dari 11 Kabupaten diantaranya disebut dengan Kabupaten Samudra dengan ibukota Pariaman, meliputi daerah Kewedaan air Bengis, Pariaman, Lubuk alung, Padang Luar kota, Mentawai, Negri-negri di daerah Tiku, Sasak dan Ketiagan.
Menurut tambo Minangkabau Pariaman termasuk dalam daerah rantau[1]. Pada abad ke 17 Pariaman merupakan kota penting di Minangkabau, tempat dimana para pedagang dari India dan Eropa datang dan berdagang emas, lada, dan berbagai hasil perkebunan didaerah Minangkabau lainnya.
pada tahun 1663 kolonialis Belanda menguasai pelabuhan di Pariaman, Belanda membuat perjanjian dengan kerajaan Aceh[2]. Ketika Belanda memusatkan aktifitasnya di Padang dan membangun rel kereta api ke daerah Sumatra Barat pedalaman Pelabuhan Pariaman pun mulai kehilangan pamornya.
Minangkabau merupakan daerah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, gambaran mengenai minangkabau sebagai daerah penganut Islam yang kuat dapat dilihat pada beberapa kesenian yang tumbuh dan berkembang diranah minang namun tidak menutup kemungkinan kalau peninggalan jaman hindu masih dipegang oleh masyarakat Minangkabau.
Sejarah masuknya Islam di Minangkabau tidak terlepas dari daerah Pariaman yang menjadi pintu gerbang pertama masuknya Islam ke Minangkabau yang dibawa oleh kerajaan Aceh, yang ketika itu Aceh ingin menyebarkan Islam didaerah jajahannya yang ada dipesisir sumatra. Dalam penyebaran Islam kerajaan Aceh ketika itu dipimpin oleh Abdul Alrauf Alsingkili dan setelah itu perjuangannya dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Burhanuddin yang lebih dikenal dengan nama Tuanku Ulakan karena beliau berasal dari Ulakan Pariaman.
Sebagai basis dalam mengembangkan dan menyebarkan Islam Syekh Burhaniddin membuat surau[3]di Tanjung Medan Ulakan. Surau pada akhirnya memainkan peran yang signifikan sebagai lembaga pandidikan dan keagamaan di Minangkabau. Pilihan syekh Burhanuddin menjadikan surau sebagai basis pengembangan Islam di Minangkabau menjadi sesuatu yang sangat menentukan dalam kehidupan keagamaan di Minangkabau dimasa-masa berikutnya. Sehingga banyak dari tokoh-tokoh dan para perantau dari daerah rantau yang membawa dan mengembangkan Islam di daerah Darek,ini di sebut dengan istilahAdat menurun syarak mandaki[4].
Tabuik perkenalkan oleh pasukan “Thamil” yang menjadi pasukan Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamfort Raffles. Pada saat itu Inggris menjajah Bengkulu pada tahun 1862. Pasukan Yhamil mayoritas beragama Islam setiap tahun menggelar pesta Tabuik yang di Bengkulu bernama “Tabot”.
Setelah perjanjian London 17 maret 1829 Inggris harus menyerahkan daerah jajahannya kepada Belanda dan menerima daerah jajahan Belanda di Singapura, sebaliknya Belanda berhak atas daerah jajahan Inggris yang ada di Indonesia termasuk Bengkulu dan daerah Sumatra lainnya.
Serdadu Inggris angkat kaki dari Bengkulu namun pasukan “Thamil” memilih bertahan dan lari ke daerah Pariaman yang ketika itu pelabuahan di Pariaman masih terkenal. karena pasukan Thamil mayoritas Islam mereka dengan mudah diterima yang pada saat itu Pariaman juga tengah dimasuki ajaran Islam. Terjadilah pembauran dan persatuan termasuk dalam bidang sosial dan budaya salah satu pembauran budaya ditunjukan lewat ritual Tabuik, bahkan Tabuik menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Pariaman.
Gandang Tambue dan bentuk Garapan Musiknya
Gandang tambue di klasifikasikan pada jenis Instrument Membranophone. Tambue dibuat dari jenis kayu ringan yang disebut dengan kayu Tarantang(sejenis batang kapas) badan Tambue sebagai resonator berbentuk tong (barrel drum) masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah Balue. Mempunyai dua muka yang masing-masing ditutupi dengan bahan kulit kambing, pada salah satu sisi Balue(resonator) diberi lobang sebesar ibu jari yang berfungsi untuk menukar angin didalam resonator. Tinggi badan Gandang lebih kurang 54cm dan diameter muka gendang lebih kurang 46cm. Sedangkan Tasa resonatornya terbuat dari tanah liat dan berbentuk talenang atau belanga(vessel drum). Bagian mukanya ditutupi dengan kulit kambing sebagai membrannya.pada resonatornyya terdapat 4 buah lobang sebagai pengimbang getaran membran.tinggi badan tasa lebih kurang 13,5cm dan diameter mukanya lebih kurang 35cm. Kehadiran gandang Tambue tidak dapat dipisahkan dari ritual Tabuik ataupun digantikan oleh instrument Minangkabau yang lainnya. Keberadaan Gandang Tambue menyandang peranan yang sangat besar dalam berlangsungnya ritual Tabuik ini.
Semua suasana yang ada di ritual Tabuik ditentukan oleh eksistensi gandang Tambue, mulai dari suasana sedih, semangat sampai pada suasana perang semua diwakilkan oleh Gandang Tambue.
Komposisi musik Gandang tambue dibangun dari permainan interlocking ritme antara Gandang tambue dan Tasa, sehingga terjadi perjalinan pola ritme antara masing-masing Tambue dan Tasa. Bentuk garapan musik pada Gandang Tambue dapat dipilah menjadi 2 bentuk.
Pertama, jenis lagu-lagu yang menyajikan pola ritme pendek-pendek, garapan musiknya dilakukan berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama sehingga cendrung monoton.
Untuk menghidupkan pertunjukan jenis lagu-lagu ini biasanya pemain Tasa melakukan Improvisasi ritme dan penggarapan di dinamiknya. Lagu-lagu yang tergolong kedalam bentuk yang pertama ini ialah, Oyak Tabuik, Sootong Tabang, Katidiang Sompong, Kereta Mandaki, Maatam Panjang, Maatam Pondok Duo, Oyak Ambacang, Sari, Maatam Manjalang dan Atam.
Kedua, jenis lagu yang menyajikan kombinasi permainan interlocking dengan motif pola ritme yang beragam dan panjang-panjang. Garapan musiknya penuh variatif. Pengulangan setiap pola ritme yang dilakukan cukup 3 kali saja kemudian dilanjutkan dengan pola ritme berikutnya.
Pada beberapa kasus lagu terdapat beberapa pengulangan salah satu lagu yang sudah dimainkan, caranya dengan terlebih dahulu disela oleh satu atau lebih pola ritme yang dilakukan secara berulang-ulang pula dan baru setelah pola ritme yang sudah diulang –ulang itu melakukan sedikit perubahan garap yaitu berupa penambahan atau pengurangan motif ritme. Lagu-lagu yang tergolong dalam bentuk yang keduan ini ialah, maatam duo baleh, alihan, maatam tigo gayo dan maatam tokok balue.
Gandang Tambue dalam Ritual Tabuik
ritual tabuik, yaitu upacara untuk memperingati kematian Husein bin (Ali), cucu nabi Muhammad S.A.W yang meninggal dalam peperangan melawan tentara Yazid dan Bani Umayyah di Karbela Irak pada tahun 61 Hijriyah (680 Masehi) (Ibnur, 1998: 26). Upacara ini diselenggarkan setiap tanggal 1-10 Muharram.
Upacara tabuik terdiri dari rangkaian upacara yaitu: (1) upacara mengambil tanah, (2) upacara mengambil dan menebas batang pisang, (3) upacara mengarak jari-jari, (4) upacara mengarak sorban, (5) upacara tabuik naiak pangkek, dan (6) upacara maarak tabuik. Beberapa dari rangkaian upacara itu diiringi dengan Gandang Tambue, seperti pada upacara mengambil tanah, mengambil dan menebas batang pisang, mengarak sorban, mengarak jari-jari, dan ma-oyak tabuik.
Upacara ini dilaksanakan diarena terbuka, seperti di jalan-jalan dan pantai Gandoriah Pariaman. Setiap upacara ini selalu dibuat dua buah tabuik yang menggambarkan dua kubu yang saling bertentangan. Tabuik pertama disebut dengan tabuik pasa dan tabuik kedua disebut tabuik subarang.
Keberadaan Gandang Tambue menjadi bagian yang amat penting untuk mendukung suasana khususnya yang bersifat ‘heroik’ dan ‘patriotik’. Selain itu juga untuk mendukung suasana sedih. Melalui ritme-ritme Gandang Tambue dirangsang berbagai emosi dan ekspresi yang ada pada setiap ranghkaian upacara.
Sekitar satu minggu menjelang upacara ritual tabuik, suasana upacara sudah mulai terasa di kotaPariaman. Pada masing-masing tempat pembuatan tabuik, Gandang Tambue sudah dibunyikan terutama pada sore dan malam hari. Jumlah mereka cukup banyak yang tergabung dari beberapa grup Gandang Tambue. Kegiatan ini berupa latihan prosesi yang ada dalam upacara ritual tabuik, dan sekaligus latihan lagu-lagu serta fisik para pemain musik. Kartomi menggambarkan musik mereka seperti musik militer Sepoy (Cipahi) yang ada di Sumatera, suaranya sangat keras, ritme-ritme musik militer memberikan dorongan yang menggemparkan, mereka latihan sambil berjalan sebagai latihan prosesi Kartomi, 1986: 149).
Tabuik adalah kerenda bertingkat tiga terbuat dari dari kayu, rotan dan bambu dengan tinggi mencapai 15 meter dan berat sekitar 500 kilogram. Bagian bawah tabuik badan seekor kuda besar bersayap lebar dan berkepala wanita berambut panjang.
Kuda gemuk itu terbuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi kain beludru halus warna hitam dan berkaki 4, ini disebut dengan Boraq.
Bagian tengah berbentuk gapura petak yang ukuranya makin keatas makin besar pada gapura itu diukir ukiran khas minangkabau. bagian atas tabuik dihiasi payung besar yang di balut kain beludru dan kertas hias yang banyak ukiran diatas payung ditancapkan patung burung merpati putih.
Pertunjukan Gandang Tambue diawali dalam upacara maambiak tanah yang dilakukan oleh Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang dalam waktu yang bersamaan pada tempat yang berbeda, akan tetapi tempat itu dicarikan yang melewati daerah lawan. Pelaksanaanya adalah tanggal 1 Muharram dari pukul 16.00 sampai masuknya waktu shalat Magrib. Tanah itu dibawa ke tempat pembuatan tabuik dan disimpan di daraga masing-amasing, yaitu areal mistis tempat kuburan yang mensimbolisasikan kuburan Husein, yang terletak di lokasi pembuatan tabuik. Gandang Tambue dibunyikan pada saat prosesi mengambil tanah yang dimulai dari tempat pembuatan tabuik masing-masing dengan lagu Maatam Panjang. Suasana terasa khidmat, dengan iringan lagu dalam tempo sedang. Para peserta prosesi melewati jalan-jalan utama kotaPariaman. Kelompok Gadang Tambue berada pada bagian belakang dari prosesi. Akan tetapi suasana itu sewaktu-waktu bisa berubah menjadi menegangkan, dan menjurus menjadi perkelahian ketika masing-masing rombongan tabuik bertemu pada saat melewati daerah lawannya, karena sungai tempat mengambil tanah itu hanya satu yaitu Batang Piaman. Dalam keadaan seperti ini biasanya tempo lagu berubah menjadi cepat dan cenderung membangkitkan suasana menjadi lebih menegangkan. Perubahan tempo musik menjadi cepat dilakukan oleh pemain tasa sebagai komanado, kemudian baru diikuti oleh para pemain gendang. Oleh karena pemain tasa adalah orang yang sudah berpengalaman dalam memainkan Gandang Tambue dari para pemaain gendang, sehingga dengan cepat ia dapat membaca situasi. Jika suara gendang melunak dan tempo kembali lambat, maka secara langsung emosi yang bergejolak dari peserta upacara dapat dikendalikan.
Pada tanggal 2- 4 Muharram kegiatan upacara tidak ada, kecuali di tempat pembuatan tabuikmereka mengerjakan pembuatan tabuik bagian bawah dan pembuatan buraq. Pada tanggal 5 dan 6 Muharram dilanjutkan dengan upacara manabang batang pisang (menebas batang pisang). Upacara ini diawali dengan mengambil batang pisang di daerah “lawan” masing-masing pada malam hari. Batang pisang itu ditebang dengan pedang jinawi kemudian ditanamkamkan di perbatasan wilayah tabuik pasa dantabuik subarang yang mereka namai “padang karbala ”. Keesokan harinya tanggal 6 Muharram sekitar pukul 18.30 rombongan tabuik pasai dan tabiuk subarang dengan membawa tabuik lenong (tabuik kecil) menuju “padang karbala” untuk melakukan upacara menebang batang pisang dengan menggunakan pedang jinawi . Suasana ini menggambarkan jasad Husein yang dipancung oleh Yazid dan tentaranya serta kecurangan yang dilakukannya.
Gandang Tambua disajikan lagi pada upacara ma-a-rak jari-jari atau disebut juga denganmahatam dan pada upacara ma-arak- sorban. Upacara ma-a-rak jari-jari atau meratapi jari-jari Husein yang terpisah dari badannya dilaksanakan pada tanggal 7 Muharram pukul 12.30 yang dimulai dengan mengelilingi daraga sambil membawa tabuik lenong. Pada malam harinya jari-jari itu diarak keliling kota . Peserta upacara meratap sambil mengucapkan kata-kata Ah, ah. Hosein, Ali bidansyah kasihan Hosen, kasihan Hasan, Hasan alah mati. Selama upacara ini berlangsung selalu diiringi dengan Gandang Tambueyang membawakan lagu Matam (sedih) dengan tempo lambat. Lagu ini disebut juga dengan daraga dan Ali Mahatam. Ritme gendang ini berupa pukulan satu-satu tanpa variasi, seakan-akan memberikan landasan ritme kepada vokal yang menyuarakan kata-kata “Ali, Hasan, Hosen” seperti di atas. Variasi-variasi ritme dilakukan oleh pemain tasa yang dapat mengisi kekosongan pada gendang.
Upacara ma-a-rak sorban dilaksanakan pada tanggal 8 Muharram. Sorban merupakan penutup kepala yang dipakai oleh Husein. Sorban diarak keliling kota dengan iringan Gandang Tambue dengan laguMatam. Upacara ini bertujuan untuk mendorong keinginan untuk membela kebenaran, seperti yang ditunjukan Husein berperang dalam mempertahankan haknnya.
Puncak dari upacara tabuik adalah pada Ma-oyak tabuik yang diawali dengan upacara tabuik naiak pangkek, yaitu penggabungan badan tabuik bagian atas dengan badan tabuik bagian bawah. Badantabuik bagian bawah dengan bagian atas masing-masing memiliki tinggi antara 5-6 meter. Jadi kalau terpasang tinggi tabuik itu akan menjadi antara 10- 12 meter. Upacara ini dilaksanakan pada malam hari 10 Muharam pukul 04.00-06.00. Upacara ini silaksankan secara bersamaan antara Tabuaik Pasa dengan Tabuik Subarang. Upacara ini diiringi pula dengan Gandang Tambue dengan lagu Matam panjang dan lagu Oyak Tabuik. Upacara ini merupakan bagian yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat, penggabungan ini dianggap suatu pekerjaan yang amat sulit dan mengandung resiko buruk.
Selesai upacara tabuik naiak pangkek, sekitar pukul 10.00 secara resmi tabuik diperlihatkan kepada masyarakat karena selama ini tabuik dibuat ditempat tertentu yang disebut rumah tabuik, sangat jarang dapat disaksikan oleh masyarakat awam Upacara ma-oyak tabuik dilaksanakan sekitar pukul 12.30 (sesudah sholat zhuhur) .Masing-masing tabuik diparadekan di jalan utama kota Pariaman dengan jarak sekitar 100-120 meter. Rombongan setiap tabuik terdiri dari pengusung tabuik, para pemusik gandang tambua, tuo tabuik, dan para pengaman tabuik . Para pengusung bertugas mengusung tabuik, menggoyang–goyangkan tabuik, merebahkan, meng-hoyak tabuik dan kadang-kadang dibawa berlari. Tuo tabuik menjaga keamanan rombongan dan pendukung tabuik mereka.
Upacara ma-oyak tabuik sekarang sudah didahului dengan pidato peresmian oleh Bupati Padang Pariaman. Selesai upacara peresmian ini barulah dilanjutkan dengan upacara ma-oyak tabuik yang ditandai dengan penyajian Gandang Tabue lagu Oyak Tabuik. Lagu ini merupakan lagu bertempo cepat, dinamik keras, dan sangat energik, sehingga sangat mudah membangkitkan semangat ‘heroik’ dan ‘patriot’ para pengusung tabuik dan pendukung tabuik lainnya. Secara perlahan-lahan ritme lagu oyak tabuik yang garangmembawa tempo dan irama upacara menjadi hangat dan cendrung memanas. Ransangan ritme-ritme laguOyak Tabuik sering memancing munculnya memancing munculnya letupan-letupan ungkapan verbal dari peserta upacara. Rouget menjelaskan karena suara gendang benar-benar agresif, kuat dan vebrasinya sangat jelas. Di Eropah gendang diajikan sebagai instrumen musik perang, sedangkan pada masyarakat primitif gendang sering dipergunakan untuk upacara yang dapat membangkitkan gejolak, disebabkan karena gendang memiliki tingkat hingar bingar yang hebar (Rouget, 1985:170).
Melihat agresifnya gerakan kubu tabuik yang pertama ini, maka kubu tabuik yang satu lagi melakukan balasan dengan membunyikan ritme-ritme gendang lagu oyak Tabuik yang dimainkan oleh grupGandang Tambuanya. Kedua kubu tabuik menjadi semakin dekat dan suasana menjadi semakin riuh yang cendrung terjadi bentrokan. Di sini tidak saja dua tabuik yang berlaga, akan tetapi juga dua grup Gandang Tambua. Di sini dapat dirasakan begitu tergantungnya upacara ma-oyak tabuik dengan Gandang Tambua.
Adegan di atas bagaikan sebuah drama kolosal peperangan yang sedang digelar di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Adegan ini juga merupakan perang artifisial antara pihak Husein dengan pihak Yazid. Walaupun sesungguhnya kedua tabuik itu pendukung Husein, selain mereka adalah ‘musuh’ (Yazid). Adegan ini dilakukan berulang-ulang sampai menjelang terbenamnya matahari, dan selanjutnya dibuang ke laut sebagai simbol menghantarkan jenazah Husein ke pemakamannya, sekaligus mengakhiri semua aktivitas upacara ritual tabuik. Semua ketegangan-ketegangan emosi, dendam, dan amarah habis pula bersama tenggelamnya tabuik di laut.
By;Cameron Malik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar